WAKTU SHALAT FARDHU
1.
Shalat
Dhuhur
Makna Dhuhur adalah waktu zawal (tergelincirnya
matahari). Dan yang dimaksud dengan zawal adalah :
ميل الشمس عن كبد السماء إلى المغرب.
“Tergelincirnya matahari dari pusat/tengah langit ke arah
barat” [Mishbaahul-Muniir, Majmuu’ 3/24, dan Al-Mughniy
1/372 – melalui Shahih Fiqhis-Sunnah 1/237].
Waktu mulai tergelincirnya matahari adalah waktu dimulainya
shalat Dhuhur. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini.
Dinamakan ‘Dhuhur’ karena ia merupakan shalat pertama yang dilakukan oleh
malaikat Jibril bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai berakhirnya waktu
Dhuhur. Yang rajih adalah ketika bayangan benda sama dengan tingginya,
sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma di atas.
Mengenai hadits Jaabir bin ‘Abdillah Al-Anshariy radlyallaahu
‘anhuma :
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى الظهر حين زالت الشمس وكان الفيء قدر
الشراك ثم صلى العصر حين كان الفيء قدر الشراك وظل الرجل
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar
untuk melaksanakan shalat Dhuhur saat matahari telah tergelincir dimana panjang
bayangan sama dengan tali sandal, lalu beliau mengerjakan shalat ‘Ashar saat
panjang bayangan sama dengan tali sandal dan tinggi orang” [Diriwayatkan oleh
An-Nasa’iy no. 524; shahih].
Maka maksud hadits tersebut adalah beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam shalat Dhuhur di akhir waktu dan selesai pada panjang
bayangan sama dengan tingginya. Saat itulah waktu ‘Ashar masuk.
2.
Shalat
‘Ashar
‘Ashar : Dimutlakkan untuk waktu sore hingga matahari
berwarna kemerah-merahan, yang saat itu merupakan akhir waktu siang. Shalat ini
juga disebut sebagai shalat Wusthaa. Awal waktu ‘Ashar adalah dimulainya
panjang bayangan sama dengan tinggi benda. Ini adalah madzhab jumhur ‘ulama,
berdasarkan dalil di atas. Abu Hanifah mempunyai pendapat lain ketika ia
menyatakan bahwa waktu ‘Ashar dimulai ketika panjang bayangan dua kali tinggi
benda.
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas akhir waktu
‘Ashar. Yang rajih adalah sampai matahari menguning atau memerah –
sebagaimana hadits ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma yang disebutkan
di awal. Dan juga hadits Abu Musa radliyallaahu ‘anhu :
أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى في اليوم الأول العصر والشمس مرتفعة، وفي
اليوم الثاني أخر العصر فانصرف منها والقائل يقول : احمرَّت الشمس....
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
melaksanakan shalat ‘Ashar pada hari pertama yang saat itu matahari masih
tinggi. Dan pada hari kedua, beliau mengakhirkan shalat ‘Ashar hingga ada yang
berkata : ‘Matahari telah berwarna kemerah-merahan….” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 614, Abu Dawud no. 395, dan An-Nasa’iy no. 523].
3.
Shalat
Maghrib
Maghrib secara asal bermakna : terbenamnya matahari, atau
ketika matahari akan tenggelam. Dimutlakkan menurut bahasa pada makna waktu dan
tempat terbenamnya matahari. Pada waktu itulah shalat Maghrib dilaksanakan. Pada
masyarakat ‘Arab dahulu, orang-orang sering menyebut Maghrib dengan ‘Isya’.
Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarangnya melalui
sabdanya :
لا تغلبنكم
الأعراب على اسم صلاتكم المغرب ! قال : وتقول الأعراب : هي العشاء.
“Janganlah kalian dipengaruhi oleh orang-orang ‘Arab baduwi
dalam menyebut nama shalat kalian, yaitu Maghrib. Orang-orang Arab Baduwi
menyebutnya : ‘Isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
563].
Awal waktu Maghrib adalah ketika matahari terbenam dan
hilang secara sempurna. Para ulama telah bersekapat mengenai hal ini.
عن سلمة بن
الأكوع أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي المغرب إذا غربت الشمس وتوارت
بالحجاب.
Dari Salamah bin Al-Akwa’ ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan shalat Maghrib saat matahari telah
terbenam dan tidak nampak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 561, Muslim no.
636, Ibnu Majah no. 688, Ahmad 4/54, dan yang lainnya].
4.
Shalat
‘Isya’
‘Isya’ adalah nama dari awal kondisi gelap dari terbenamnya
matahari hingga benar-benar gelap di waktu malam. Dinamakan shalat ‘Isya’
karena ia dilakukan pada waktu tersebut. Shalat ‘Isya’ disebut juga Shalaatul-Aakhirah,
sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
أيما امرأة
أصابت بخورا، فلا تشهد معنا العشاء الآخرة
“Wanita mana saja yang memakai wewangian, maka janganlah ia
menghadiri Shalatul-Aakhirah (shalat ‘Isya’) bersama kami “ [Diriwayatkan oleh Muslim no. 444, Abu Dawud no. 4175,
An-Nasa’iy no. 5128 dan 5263, Abu ‘Awaanah 2/17, Al-Baihaqiy 3/333, serta
Al-Baghawiy no. 861].
Selain itu, shalat ‘Isya’ juga dinamakan dengan shalat ‘atamah,
sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لو يعلم
الناس ما في النداء والصف الأول، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا لاستهموا عليه. ولو
يعلمون ما في التهجير لاستبقوا إليه، ولو يعلمون ما في العتمة والصبح لأتوهما ولو
حبوا
“Sekiranya orang-orang mengetahui keutamaan menyambut seruan
adzan dan berada di shaff pertama kemudian hal tersebut hanya dapat diraih
dengan mengundi, niscaya mereka akan mengundi demi mendapatkannya. Sekiranya
mereka mengetahui keutamaan at-tahjiir (shalat di awal waktunya), niscaya
mereka akan berlomba mengerjakannya. Sekiranya mereka mengetahui keutamaan
shalat ‘atamah (‘Isya’) dan Shubuh, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun
harus merangkak” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no.
615, 653, 720, 2689; Muslim no. 437; At-Tirmidziy no. 225-226, An-Nasa’iy no.
540, 671; Ibnu Khuzaimah no. 391, 1475, 1554; Abu ‘Awaanah 1/333, 2/37; Ibnu
Hibban no. 1659, 2153; dan yang lainnya].
5.
Shalat
Fajar/Shubuh
Fajar secara asal maknanya adalah : asy-syafaq (cahaya/mega
yang berwarna kemerahan). Asy-syafaq yang muncul di akhir malam seperti asy-syafaq
yang muncul di awal malam. Fajar itu ada 2 (dua) :
Fajar Kadzib : adalah warna putih di arah timur,
panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
Fajar Shadiq : adalah warna merah yang naik dan
muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib), sehingga
terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الفجر فجران فأما الأول فإنه لا يحرم
الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل الصلاة
“Fajar itu ada dua macam : Adapun fajar yang pertama, tidak
diharamkan makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan
fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; shahih].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar